Senin, 04 Januari 2010

Memahami Islam yang Cinta Damai


Memahami Islam yang Cinta Damai
29th Dec, 2009 Penulis: Redaksi KarIn Rubrik: Renungan
Oleh : Fariz Huzairi
Kehidupan perdamaian manusia tengah terusik dan mendekati kehancuran. Ketidakseimbangan hidup telah menimbulkan pertentangan antar golongan tertentu. Sebagai bukti kekerasan yang terjadi dengan mengatasnamakan Islam, sehingga kontroversi disetiap kalangan memicu terjadinya kerusuhan yang semakin serius. Seperti yang dikutip dalam Majalah Muslimah Edisi 09 Tahun 2003, hingga pada akhirnya Islam disalah mengerti karena selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah oleh musuh-musuh Islam, dan terkadang orang Islam sendiri yang tidak memahami Islam.
Hancurnya kehidupan perdamaian manusia tersebut disebabkan oleh manusia itu sendiri. Berawal dari individu yang kemudian berdampak pada lingkungan. Lemahnya keyakinan terhadap Tuhan menjadi alasan tepat, sehingga kehidupan antar sesama menjadi persaingan kotor demi mendapatkan kejayaan dan keuntungan bagi diri sendiri.
Menurut Ulama Sufi jaman dahulu, kerusuhan di dunia ini terjadi disebabkan oleh dua keadaan. Pertama, karena manusia itu tidak percaya adanya Tuhan. Kedua, karena manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Bagaimana seseorang dapat mencintai agamanya, sedangkan Ia tidak mengerti dan tidak memahami agamanya. Begitu pula dengan seseorang yang tidak memiliki keyakinan terhadap Tuhan, mana mungkin Ia dapat mengenali Tuhannya dengan baik. Jika sudah demikian, manusia itu tidak akan patuh dan tidak akan takut terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan.
Sedangkan sebab yang kedua mengakibatkan manusia itu menjadi serakah, mencintai harta yang berlimpah, mencintai kedudukan yang tinggi, mencintai nama yang harum dan masyhur, mencintai anak isteri yang berlebih-lebihan, dan bahkan menjadikan manusia di sekitarnya sebagai lawan saing yang harus ditumbangkan. Hal demikian membawa manusia kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di dalamnya. Padahal, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Kesenangan yang mereka rasakan tidak akan berlangsung lama. Segala yang mereka cintai tidak akan membawanya kepada kebahagiaan hakiki. Sebagaimana Firman Allah SWT : “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat lebih baik untuk orang-orang bertakwa.” (QS. An-Nisaa`: 77)
Dan simak Firman Allah SWT lainnya : “Dan tiadalah kehidupan di dunia ini hanya permainan dan senda gurau belaka, dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al-An`aam: 32)
Dalam surat Al-Hasyr ayat 18, Allah juga berfirman, “Dan hendaklah setiap diri (seseorang) memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok.” Maksudnya, hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang diperbuatnya itu, bermanfaat ataukah tidak. Sebagai investasi untuk hari yang akan datang, yaitu akhirat.
Namun, kebanyakan manusia itu sibuk menumpuk harta, padahal hartanya tersebut tidak akan dibawanya ketika meninggal. Atau, ada juga yang sibuk berlomba-lomba mengejar kedudukan yang tinggi. Padahal, belum tentu juga apa yang dikejarnya itu dapat memberinya kebahagiaan di akhirat kelak.
Hati dan pikiran mereka telah digelapkan oleh hawa nafsu. Sedangkan, kecintaannya kepada dunia yang berlebih-lebihan itu membuatnya melupakan akhirat dan selalu sibuk dengan urusan duniawi. Mereka pun menjadi tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram. Penyakit hatinya tersebut terus menggerogoti dan menyeretnya kepada kekufuran kepada Allah SWT. Padahal, matinya hati adalah lebih keji dan celaka daripada matinya jiwa manusia yang tak lepas dari dosa.
Imam Al-Ghazali berkata dalam kitab Mukhasyafatul Qulub, “Sesungguhnya hawa nafsu yang mengarahkan manusia kepada kejahatan, dan ia lebih jahat daripada iblis”. Karena, hawa nafsu yang dijadikan sebagai senjata oleh setan itu hanyalah menipu manusia dengan angan-angan kosong dan kesenangan sesaat, yang akhirnya menjerumuskan manusia kepada kesesatan.
Tidak ada lagi solidaritas terhadap sesama, hilangnya rasa saling menghargai antar sesama manusia, dan lenyapnya rasa cinta dan persaudaraan kepada sesama. Lebih dari itu, hancurnya suatu bangsa akibat dari rusaknya akhlak dan moral manusia itu sendiri. Sehingga dampaknya dirasakan pula oleh semua orang, baik disadari ataupun tidak.
Allah berfirman, “Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan bodoh”. (QS. Al-Ahzab: 72). Kezhaliman manusia yang tiada lain hanyalah menzhalimi dirinya sendiri. Sebab, setiap apa yang diperbuat manusia hanyalah untuk manusia itu sendiri, baik amal yang baik maupun amal yang buruk. Sedangkan Allah hanya akan menghakimi manusia itu dan membalasnya dengan pahala ataukah siksa.
Firman Allah : “Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpa kamu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Dan Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai Rasul bagi seluruh manusia, dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS. An-Nisaa`: 79)
Semua itu merupakan sebab-akibat hancurnya kehidupan perdamaian manusia yang berasal dari kehidupan manusia itu sendiri yang zhalim. Tidak dapat dikatakan mutlak sebagai takdir Allah. Karena Allah telah menurunkan kebenaran melalui petunjuk Rasul-Nya untuk diikuti oleh semua umat manusia. Yaitu Islam, yang diturunkan sebagai Agama Allah yang cinta damai. Di dalamnya terdapat kebenaran hakiki yang memanusiakan manusia menurut fitrah yang sebenarnya. Maka sesatlah manusia yang tidak mengikuti petunjuk kebenaran tersebut.



Firman Allah : “Dan sungguh Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat (kebenaran), dan tidak ada yang ingkar kepadanya kecuali orang-orang yang fasik (durhaka).” (QS. Al-Baqarah: 99)
Rasulullah SAW bersabda : “Allah menciptakan rasa kasih sayang itu seratus bagian. Yang sembilan puluh sembilan disimpan di sisi-Nya, sedangkan yang satu bagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bagian itulah para makhluk saling berkasih sayang, sehingga kuda mengangkat kakinya karena takut anaknya terinjak.”(Shahih Bukhari terjemah kitab At-Tajridush Sharih)
Karena itu, sudah menjadi keharusan sebagai manusia untuk menjaga dan memelihara perdamaian di muka bumi ini. Mengendalikan kehidupan dengan sikap normal dan sewajarnya, sehingga terbentuklah kehidupan yang seimbang dan penuh dengan kasih sayang. Sebagaimana yang dikatakan oleh H. Aboebakar Atjeh dalam buku Pengantar Ilmu Tarekat, “Bahwa perdamaian itu adalah perseimbangan, jika perseimbangan itu tidak terdapat maka terjadilah pertentangan antara pribadi seorang manusia dengan manusia lainnya”.Perseimbangan yang dimaksud ialah seimbangnya unsur-unsur penggerak kehidupan ruhani manusia. Seperti pendapat yang dikemukakan orang Sufi terdahulu, bahwa kehidupan lahir itu hanya merupakan akibat dari apa yang dilakukan manusia. Sedangkan kehidupan manusia digerakkan oleh tiga pokok, yaitu syahwat (hawa nafsu), aqal (akal), dan ghadhab (kegiatan). Jika ketiganya itu seimbang, maka hidup manusia menjadi normal dan wajar. Dengan kata lain, jika ketiganya ini dapat dikuasai dengan baik maka tidak akan ada salah satunya yang berlebihan. Karena, jika salah satunya melebihi yang lain (tidak seimbang), maka kehidupan manusia itupun menjadi abnormal atau tidak wajar.
Namun, ketiga unsur penggerak kehidupan ruhani manusia itu berasal dari yang satu, yaitu syahwat. Syahwat atau hawa nafsu itulah yang menyebabkan timbulnya keinginan hingga kemudian menggerakkan kehidupan manusia. Dengan demikian, jika hawa nafsu itu berlebihan maka keinginan yang timbul pun menjadi tidak wajar bagi kehidupan seorang manusia.
Manusia itu sendirilah yang menentukan apakah Ia akan menjadi manusia yang baik atau buruk. Sebagaimana firman-Nya, “Allah tidak menjadikan seseorang dua hati di dalam rongganya”. (QS. Al-Ahzab: 4). Bahwa Allah tidak menciptakan kebaikan dan keburukan sekaligus secara utuh bersamaan keduanya di dalam hati seseorang. Namun, kembali kepada manusia itu sendiri bagaimana mengendalikan dan mengarahkan syahwatnya sehingga membentuk hati yang baik ataukah buruk.
Sedangkan syahwat tidak akan sempurna dikendalikan tanpa adanya akal dan ghadhab. Adapun ilmu, merupakan syarat mutlak penghidupan yang dicerna oleh akal sehingga melahirkan akhlak yang sempurna bagi seorang manusia. Sebagai contoh, akhlak yang mulia para Sufi tidak akan terbentuk tanpa adanya ilmu dan pengendalian hawa nafsu. Maka lahirlah hasilnya, kehidupan perdamaian manusia yang tentram dan sejahtera.
Tidak ada istilah keterlambatan dalam melakukan perubahan. Sebelum terbitnya matahari dari barat dan penyesalan yang tiada gunanya, saat kehancuran besar menghentikan putaran waktu. Dengan memulainya dari diri sendiri (individual) demi terciptanya sebuah perubahan dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik, dan dari yang benar untuk terus menebarkan kebenaran. Dan ingatlah yang difirmankan Allah : “Inilah yang telah dijanjikan kepada setiap orang yang selalu kembali kepada Tuhan dan senantiasa memelihara fitrah dan amal perbuatannya, yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dalam keadaan menyendiri datang (kepada Allah) dengan hati bertaubat.” (QS. Qaaf: 32-33)

2 komentar:

yumi zaitun mengatakan...

SubhanaLLah....
mudah2n ini sangat bermaat to kita semua.
Insya Allah aKu termasuk saLah diantara banyak umat manusia.Amiin....

Salman Al Farisi mengatakan...

Al Islam, Salim, Assalaam